03 December 2009

MARXISME DAN SASTRA: BEBERAPA ISU UTAMA

Oleh Sarip Hidayat


A. Pendahuluan
Meskipun lebih banyak berkutat pada tulisan-tulisan mengenai politik dan ekonomi, tidak berarti Karl Marx mengenyampingkan bidang lainnya, dalam hal ini sastra dan kebudayaan. Sebagai orang yang pernah bersentuhan dengan kesusastraan, misalnya karena ia juga seorang penulis puisi dan sejumlah fragmen drama, Marx berbicara mengenai kesusastraan dihubungkan dengan kenyataan sosial sejarah masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penciptaan karya sastra.

Dalam pandangan marxisme, sastra diposisikan sebagai cerminan realitas sosial yang berpihak pada golongan tertentu. Sebagaimana konsepnya mengenai perjuangan kelas, sastra harus memiliki semangat untuk memperjuangkan kedudukan manusia tertindas dalam masyarakat untuk memeroleh derajat yang sama. Realitas sosial yang selama ini terjadi berupa penyekatan yang menyebabkan terjadinya berbagai tindak kesewenang-wenangan, ketidakadilan, penindasan ekonomi kepada kelas rendahan, dan lain sebagainya harus dilawan, termasuk melalui sastra.
Kaum marxis berpendapat bahwa teori apapun yang memperlakukan sastra terisolasi dan memisahkannya dari masyarakat dan sejarah, teori tersebut akan lemah dalam menyampaikan apa yang sebenarnya diinginkan dalam sastra. Berdasarkan hal tersebut kemudian lahir sastra marxis yang lebih mengedepankan proses dialektika masyarakat dan sejarah dalam sastra. Pembacaannya pun harus didekati dengan konteks masyarakat dan sejarah pula agar kemudian tercipta kesegaran pemahaman maksud yang dikandung oleh sastra tersebut.
Beberapa konsep yang berlandaskan realitas sosial masyarakat kemudian diungkapkan dan menjadi bahan dalam kerja kritik sastra. Dalam hal ini Marx berbicara mengenai sejarah, bentuk, isi, ideologi, pengarang dan komitmennya, serta produksi.

B. Sastra dan Sejarah dalam Pandangan Marx
Sebagai tokoh filsafat yang menitikberatkan pada realitas sosial masyarakat, Marx menghubungkan semua bahan analisisnya dengan masyarakat dan realitas yang mendukungnya. Dengan demikian, dimensi kesejarahan dalam pandangan Marx menjadi suatu bagian yang harus menjadi pusat perhatian. Proses pembentukan masyarakat memiliki akar sejarahnya sendiri sehingga menafikan sejarah berarti menghilangkan salah satu unsur terpenting dalam memahami perubahan masyarakat. Sebagai salah satu bentuk kreasi masyarakat, karya sastra tidak bisa dilepaskan begitu saja dari proses kelahiran dan masa ketika karya tersebut dilahirkan. Sastra adalah dokumentasi sosial yang perlu dipertimbangkan kesejarahannya karena di sana tersimpan realitas yang meskipun sudah difiksikan namun mengandung semangat zamannya.
Jika hubungannya dengan kesejarahan dan masyarakat, pendekatan marxis terhadap karya sastra dekat hubungannya dengan pendekatan sosiologi sastra yang juga memusatkan perhatian pada aspek produksi sastra, pengarang, pembaca, serta faktor-faktor sosial lainnya yang menentukan cita rasa sastra masyarakat. Namun demikian, kritik sastra marxis ini memiliki jalurnya sendiri yang meskipun memiliki arah yang hampir sama namun menekankan pada hal yang berbeda. Perbedaan tersebut lebih kepada semangat yang diusung Marx dan para pengikutnya tentang perubahan masyarakat dalam sejarah. Unsur-unsur sastra yang berupa bentuk, gaya, dan maknanya ditelaah secara progresif dengan semangat revolusioner. Alihalih dekat dengan sosiologi sastra, pemusatan terhadap bentuk dan isi membuat kritik sastra Marxis lebih mendekati kegiatan yang dilakukan para pengusung pendekatan strukturalis modern atau post-strukturalis yang sama-sama mengutamakan pencarian makna utuh dari sebuah struktur yang dikonstruksi dalam karya sastra.
Marx memang menyandarkan pemikirannya tentang sejarah kepada pendahulunya, Hegel. Dalam pandangan Hegel, sejarah merupakan perjalanan “Roh Dunia” dalam gerak majunya melalui serangkaian tahap sampai ia mencapai bentuk tertinggi realisasi diri, Roh Absolut (Sim:2008). Konsep Hegel tentang Alienasi diperbarui Marx. Jika konsep alienasi Hegel lebih mengarah kepada akal yang merenungi dirinya sendiri, Marx bergerak ke arah perjuangan kelas sebagai bentuk nyata kesadaran. Sebuah pernyataannya yang terkenal mengenai hal ini adalah bahwa sejarah semua masyarakat yang ada sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas: orang bebas dan budak, bangsawan dan plebian, tuan dan jongos, tuan-gilda dan pekerja, atau dengan kata lain antara penindas dan yang tertindas.
Satu lagi konsep Hegel yang dipakai Marx adalah mengenai dialektika. Hegel mengatakan bahwa alienasi bersifat dialeksis, yakni ketidaklayakan salah satu bentuk kesadaran berubah menjadi kesadaran lain, lagi, dan lagi, sampai suatu “sains yang layak” dicapai. Dialektika Hegel ini bersifat idealis (proses thesis-antithesis-sintetis). Marx memberinya pondasi materialis sehingga jika sebelumnya kesadaran tersebut hanya tumbuh dalam proses perenungan diri, Marx bergerak kepada bentuk nyata untuk mengubah dunia sebagai hal yang lebih penting dari hanya sekadar menafsirkan dunia.
Di dalam dialektika sejarahnya, Marx mengusung gagasan mengenai masyarakat. Menurut Marx, bukan kesadaran manusia yang membentuk realitas, tetapi sebaliknya, realitas sosial yang membentuk kesadaran. Maka kehidupan sosial individu masyarakat pun dipengaruhi oleh kekuatan yang lebih besar, yaitu politik dan ekonomi. Secara sederhana, kelas sosial seseorang terlahir berdasarkan sudut pandangnya.
Marx kemudian memperluas konsep determinasi ini dan menghasilkan konsep struktur tentang masyarakat yang merupakan konsep sentral marxisme, yaitu sistem basis/dasar/infrastruktur dan superstruktur (konsep yang mengingatkan kita pada konsep diadik Saussure tentang petanda dan penanda). Sistem dasar adalah sistem ekonomi dimana superstruktur berada. Adapun superstruktur berupa aktivitas kultural—termasuk filsafat dan kesastraan—dan sejumlah kesadaran sosial lainnya. Pada kritik Marxis, sistem dasar ekonomi masyarakat membentuk atau mempengaruhi kecenderungan dan corak literatur; ini merupakan relasi antara pengaruh sistem dasar dan superstruktur yang keduanya merupakan inti kritik sastra Marxis. Meskipun demikian terdapat perbedaan pandangan di antara pengikut marxis mengenai hubungan antara basis dan superstruktur ini yang bahkan melahirkan teori-teori kritis baru berdasarkan perbedaan pandangan ini.



C. Ideologi
Dalam pandangan beberapa pengikut marxis, suprastruktur dapat membentuk ideologi. Ideologi dalam bagian ini berfungsi sebagai pelegitimasian kekuasaan kelas yang berkuasa dalam masyarakat. Marx sendiri memang mengungkapkan bahwa superstruktur ditentukan oleh nilai dasar, maka bisa dipastikan ia menyokong ideologi-ideologi nilai dasar tersebut. Adapun ideologi adalah beberapa ide, gagasan dan kecenderungan yang merubah dan didapat individu melalui kehidupan bermasyarakat. Ia menampilkan nilai-nilai dan gagasan dominan sebagai sistem kepercayaan masyarakat secara keseluruhan dan juga mencegah individu memandang bagaimana sebenarnya fungsi masyarakat.
Dengan kata lain, ideologi bukanlah sekumpulan doktrin; ideologi menggambarkan bagaimana manusia memainkan perannya dalam masyarakat kelas, dalam nilai-nilai, dalam ide-ide, dan citra-citra yang mengikat mereka pada fungsi-fungsi sosial mereka, dan mencegah mereka dari pengetahuan yang benar tentang masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dalam kaitan ini, sastra, sebagai produk budaya, adalah suatu bentuk ideologi, yang memperkuat kekuasaan kelas atas.
Meskipun demikian, tidak serta-merta kesastraan disamakan dengan ideologi. Engels mengatakan bahwa kesastraan atau seni tidak semata-mata bersifat ideologis. Meskipun para pendukung marxis yang lebih menitikberatkan pada pandangan bahwa sastra merupakan cerminan dari ideologi-ideologi dominan meyakini bahwa karya sastra adalah juga ideologi dalam bentuk artistik tertentu, perlu juga dilihat pendapat Althusser yang lebih condong kepada pendapatnya bahwa seni atau sastra tidak dapat direduksi hanya pada ideologi. Pada posisi ini seni lebih baik dikatakan mempunyai hubungan yang khas dengan ideologi. Memang ada kesamaan antara kedua hal ini, yaitu sama-sama bersifat imajiner.
Memang diakui bahwa kesastraan dan seni pada umumnya hidup dalam ideologi. Namun demikian, kesusastraan dengan sifat khasnya memiliki posisi yang dapat berjarak dengan ideologi. Dalam hubungannya dengan sastra, Pierre Macherey mengatakan bahwa ideologi lebih mengarah pada istilah “ilusi” yang merupakan bahan-bahan yang dikerjakan pengarang. Namun, dalam praktiknya pengarang mengubahnya menjadi sesuatu yang lain dengan memberinya bentuk dan struktur. Bentuk baru ini menjadi sebuah karya sastra yang dapat mengambil jarak dengan ideologi dan memberi batas-batas terhadapnya.
Eagleton sendiri kemudian memilih menekankan kepentingan ilmu pengetahuan dan analisis ilmiah dalam memandang hubungan karya sastra dengan ideologi ini. Tatanan ilmiah dapat lebih menjelaskan hubungan-hubungan yang terjadi di antara keduanya sehingga kita dapat menganalisisnya dengan lebih objektif.

D. Bentuk dan Isi
Pembicaraan mengenai yang dipentingkan antara bentuk dan isi diperdebatkan oleh para pengikut Marx. Pada awalnya para pengikut Marx yang dikenal sebagai marxisme ortodox meyakini bahwa isi lebih penting daripada bentuk. Pendapat ini sejalan dengan perjuangan mereka untuk lebih mementingkan isi politis kesusastraan daripada bentuk-bentuk estetika karya sastra. Adapun Marx sendiri sebenarnya lebih menekankan pada upayanya untuk melihat kepaduan antara bentuk dan isi. Meskipun tidak seluruhnya mengikuti ajaran Hegel, Marx memiliki pendapat serupa dengan pendahulunya itu bahwa bentuk artistik bukan hanya soal kebiasaan dalam kreativitas seorang seniman. Bentuk, secara historis, ditentukan oleh “isi” yang harus ia wujudkan; ia berubah, berganti, rusak, dan menjadi lebih revolusioner bersamaan dengan berubahnya isi.
Berbeda dengan pendapat Marx dan pengikutnya yang lain, Lukacs yang notabene adalah pengikut Marx juga justru memiliki pendapat yang berseberangan. Menurut Lukacs elemen sosial sejati dalam kesusastraan adalah bentuk. Pendapat ini tentu berdasarkan pengamatannya terhadap perkembangan kritik sastra marxis, terutama terlalu dominannya arah kajian marxis terhadap ideologi yang merupakan isi karya sastra sehingga memiskinkan karya sastra sendiri. Ideologi yang selalu dihubung-hubungkan dengan perjuangan kelas dan sistem ekonomi diyakini Lukacs dapat menjadi bumerang bagi pengikut marxis sendiri dan memang kemudian terjadi pada para kritikus sastra marxis Inggris di tahun 1930-an.
Marx sendiri sebenarnya lebih memilih menggunakan proses dialektika untuk memahami bentuk dan isi ini. Meskipun disadari bahwa isi lebih penting daripada bentuk namun bentuk pun sebenarnya tidak kalah penting. Menurut Marx, bentuk adalah produk dari isi, namun memberi pengaruh balik pada isi dalam suatu hubungan yang bermata ganda. Marx selanjutnya mengatakan bahwa bentuk tidak akan bernilai kecuali jika ia merupakan bentuk dari isinya. Keyakinan estetis ini dianggap sebagai pendapat yang sebenarnya dari Marx. Namun demikian lebih ditegaskan lagi oleh para pengikutnya kemudian bahwa pada akhirnya isi lebih menentukan bentuk.
Beberapa pendapat dari kalangan marxis ini sebenarnya lebih memberi jarak terhadap kaum formalis yang memang lebih mengagungkan bentuk daripada isi. Bagi kaum formalis isi hanyalah fungsi dari bentuk sebagaimana isi sebuah sajak dipilih hanya untuk memperkuat unsur-unsur teknis yang digunakan sajak tersebut.
Dalam tataran sosial masyarakat, berdasarkan pendapat Leon Trotsky tentang hubungan antara bentuk dengan ideologi menghadirkan sejarah bentuk-bentuk sastra yang dikaitkan dengan perubahan penting dalam ideologi. Memang kemudian tidak menjadi sederhana proses pemahaman sejarah ini karena seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa sastra dan ideologi memiliki tegangan-tegangannya sendiri. Sastra memiliki otonominya sendiri sehingga tidak harus selalu tunduk pada kecenderungan ideologi. Dalam pandangan Egleton pada akhirnya bentuk ditentukan oleh tiga elemen, yaitu otonomi relatif sejarah bentuk sastra, struktur ideologi yang dominan, dan hubungan antara pengarang-audiens.

E. Pengarang dan Produksi
Dalam kritik sastra marxis pengarang menjadi bagian penting. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa pengaranglah yang menghadirkan ideologi dalam karyanya. Meskipun demikian, perdebatan mengenai pengarang menjadi perhatian tersendiri, terutama posisi yang sebenarnya apakah sebagai kreator atau kepanjangan tangan dari sistem produksi, yaitu sebagai produsen atau pekerja yang diberi gaji oleh kaum borjuis yang diyakini melanggengkan praktik-praktik borjuisme.
Menurut kaum marxis, terutama kaum marxis yang masuk dalam arena politik, pengarang harus menyuarakan ideologi kelasnya, tentu saja kelas proletar yang memang menjadi arah perjuangannya dalam menentang kelas borjuis. Keterlibatan para marxis dalam dunia politik, menjadi pemimpin partai komunis, bahkan menjadi pemimpin negara membuat mereka memberi batasan-batasan ketat terhadap kepengarangan yang sebenarnya justru memasung kebebasan kreatif pengarang.
Doktrin keras yang dibuat pemerintahan Stalin yang diterapkan melalui pengawasan kaki tangannya, Zhdanov, yaitu bahwa tugas seorang pengarang adalah menyajikan penggambaran realitas yang jujur dan historis-konkret dalam perkembangannya yang revolusioner bahkan kemudian menekankan bahwa kesusastraan haruslah bertendensi, melayani partai, membuat kesusastraan di kemudian hari menjadi hanyut dalam optimisme palsu dan keseragaman alur. Akibatnya berimbas kepada kematian para pengarang yang berseberangan.
Pada perkembangan selanjutnya setelah jatuhnya para penguasa komunis yang mengusung ideologi marxis, pandangan marxis lebih terbuka terhadap realitas yang sebenarnya dalam dunia baru. Perjuangan kaum marxis dalam bidang politik memang menemui kegagalan (kalau dilihat dari bergugurannya rezim pengusung marxis). Namun, marxisme hanyalah alat bagi stalin, Lenin, dan para diktator lainnya untuk mencapai tujuan politiknya. Marxisme sendiri justru lebih berkembang sebagai aliran filsafat dan bahkan kritik sastra kontemporer yang masih menarik bahkan terus dipakai oleh para pengikutnya dan menjadi narasi besar yang melahirkan berbagai pendekatan dan teori sastra kontemporer.
Borjuis dan proletar yang menjadi pangkal perjuangan marxis masih tetap ada dengan segala bentuk perubahannya. Bentuk-bentuk kapitalisme sebagai bagian dari budaya borjuis yang dikritik dan digempur oleh kaum marxis ternyata malah tetap hidup dan semakin menancapkan kukunya di setiap segi kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam kehidupan sastra.
Sastra tidak bisa lepas dengan kepentingan-kepentingan di luar sastra, semisal ekonomi. Sastra sebagai salah satu bagian dari superstruktur memang memiliki otonominya sendiri yang terkadang berada di posisi yang tinggi. Namun, ketika berhadapan dengan masyarakat, sastra harus memiliki “daya tawar” sehingga disukai oleh masyarakat. Untuk itu, maka sastra harus bersentuhan dengan sistem ekonomi yang memiliki jalur ke arah sana dengan berbagai instrumennya.
Pada akhirnya posisi pengarang menjadi lebih dekat kepada posisi sebagai produsen yang memproduksi suatu “barang” daripada sebagai kreator. Aktivitas produksinya tersebut tentu bertujuan untuk menghasilkan “keuntungan”. “keuntungan” dalam kaidah ekonomi akan diperoleh melalui proses pemasaran kepada masyarakat. Dalam kaitan ini pengarang mau tidak mau telah menjadi pekerja bagi kepentingan pemilik modal, dalam hal ini penerbit.
Posisi pengarang seperti ini menjadikannya penting dalam analisis terhadap karya sastra yang dibuatnya. Hal ini masih sejalan dengan pandangan marxis bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan dari sejarah penulisannya oleh pengarang. Pengarang adalah subjek sejarah yang hidup dan harus dikaitkan keberadaannya jika kita akan meneliti karya sastra berdasarkan kritik sastra marxis. Tentu saja ini membedakannya dengan pendekatan struktural maupun formalisme yang menafikan hal di luar karya sastra sebagai objek kajian.

F. Penutup
Walaupun para kritisi Marxis telah menafsirkan Teori Marx dalam cara berbeda, sebagai Marxis mereka akhirnya tetap kembali pada beberapa konsep sentral Marx: gagasan tentang keadaan sosial mempengaruhi kesadaran, dan sistem dasar atau bentuk superstruktur. Dua konsep ini menjadi landasan bagi setiap upaya pendekatan terhadap karya sastra dalam hubungannya dengan masyarakat.
Pembicaraan Marx mengenai sejarah, bentuk dan isi, ideologi, dan pengarang dalam hubungannya dengan kritik sastra pun tidak lepas dari dua konsep tersebut karena dasar itulah yang dibidik kaum marxis dalam memaknai perubahan di masyarakat. Penyempurnaan dan perluasan yang dilakukan oleh pengikut Marx di kemudian hari menjadikan kajian marxis lebih bervariasi dan memiliki cakupan yang lebih dari hanya sekadar membicarakan pertentangan kelas yang di awal perkembangan marxisme menjadi isu utama.

Daftar Pustaka
Eagleton, Terry. 2002. Marxisme dan Kritik Sastra. Diterjemahkan oleh Zaim Rafiqi. Depok: Desantara.
Sim, Stuart dan Borin van Loon. 2008. Memahami Teori Kritis. Yogyakarta: Resist Book.
Takwin, Bagus. 2003. Akar-Akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.

No comments:

Post a Comment