23 November 2009

TETANGGA

-mwa dan hfr

“Tetangga adalah sahabat
yang paling baik, “ katamu suatu hari
di sela-sela percintaan
“Tetangga adalah sahabat
yang paling kubenci, “ demikian katamu
suatu hari di ujung percintaan.
Akhirnya kaupun berucap
Di sela-sela sujudmu,
“Tetangga adalah sahabat yang
paling kubenci dan paling kurindu.”

Setelah itu kau meninggalkan rumah
Dengan tergesa-gesa.

Bandung, 1997--2009


Cat: puisi ini dibuat pada tahun 1997 sewaktu saya masih kuliah di UPI. Sengaja saya tampilkan kembali untuk mengenang kakak kita tercinta, Moh. Wan Anwar yang meninggal pada pukul 04.00 hari Senin, 23 November 2009 di RS Sari Asih, Serang. Semoga arwah beliau diterima di sisi Allah. Selamat jalan, Kang. kehilanganmu adalah kesedihan kami.

19 November 2009

LARON

Tibatiba saja kalian datang
Di beranda ini cahaya begitu redup
Tetapi beratus-ratus laron berdatangan mencumbui
Menari-nari sampai tak tahu diri
Sayap bertanggalan engkau tak peduli
Merangkak di lantai yang licin namun kusam
Apa yang kau cari sesungguhnya
Sementara kau asyik menggerayangi tubuhku
Kau patahkan sayapmu satusatu
Telanjang

Apakah karena cahaya yang membuat engkau terpesona
Ataukah hujan yang telah reda
Barangkali engkau rindu padaku
Yang sesekali mematikan lampu
Kemudian tak kuasa melihatmu menjadi beringas
Kau masuki rumah lebah, kau susuri mata penyair,
Kau masih setia menggerayangi kaki dan kulit tanganku

Sejenak kemudian engkau menghilang, entah
Mati atau mencari jalan pulang
Beribu-ribu sayap berserakan di lantai kusam
Beratus-ratus laron mati telentang
Entah kenapa
Apakah ekstase yang begitu memabukkan
Ataukah memang begitu kodrat alam
Engkau berpesta cahaya
Setelah itu mati dengan leluasa
Bertelanjang dada

Depok, November 2009

18 November 2009

KEPADA NAILA

Sebentar!
Kupintal dulu jejak musim tentangmu
Sedang lumpur berkuasa waktu itu
Kehilangan menjadi situasi yang gemetaran

Baiklah!
Mari kita bercakap tentang waktu
Berdetak dan mengalun syahdu
Membuat sesal datang belakangan

Ahai!
Engkau kembali, engkau kembali
Merenda senja menjadi malam, memeluk malam dalam dekapan
Ada yang berpendar dalam hati, liar namun mengasyikkan

Ada cerita yang belum usai dipentaskan
Ada episode yang belum sempat dituliskan.


Jakarta, November 2009

17 November 2009

PERSAHABATAN

Persahabatan
Kita berbincang tentang makna pertemuan
Kadang kelam seperti teroris dalam dekap senapan
Bisa juga menggairahkan seperti penyair bertemu keindahan

Persahabatan
Kita bercakap dalam keterasingan
Ada kata yang diam, hanya rasa mengalir pelan
Tak cukup isyarat untuk memahami pengakuan

Persahabatan
Kita bercengkrama di antara putaran
Memintal kepercayaan dan menanam kebenaran
Yakinkan saja bahwa hidup bergelombang namun juga mengasyikkan

Persahabatan
Aku dan engkau bersatu dalam rindu.

Depok, November 2009

KEPADA SRIMAR

Pernah suatu ketika aku bertandang di depan hatimu
tetapi engkau tolak dengan
kerlinganmu
Menggoda aku untuk terus memimpikanmu
Sepanjang waktu semusim lalu
Kita pun bertemu di cuaca yang berubah
Di taman partere yang gerah
Ada sisa rindu
Ada sisa syahdu
Tibatiba ingatan terbelah
Antara pasrah dan gelisah
Karena engkau menyimpan pesona seorang ibu
Juga seorang ratu
Di mataku engkau menjelma candu

Srimar
Catatlah dalam hidupmu
Antara taman dan bunga-bunga
Ada cinta bermekaran di udara

Depok, November 2009

13 November 2009

KEPADA IYA

Iya
Aku memang mencintai kalian
Tidak sederhana memang
Namun juga tidak terlalu rumit

Iya
Aku memang rindu kepada kalian
Tidak menggebu-gebu memang
Hanya sebatas pandang

Iya
Aku memang ingin memiliki kalian
Tidak mungkin memang
Cukup saja memotretnya dalam bayangbayang

Iya
Aku memang sedang menghapus kalian
Tidak semuanya memang
Meski terasa sakit

Depok, November 2009

KEPADA SAGAR YOEL

cikurai
indah namun tiada aku

Depok, November 2009

11 November 2009

AIR

Cerpen Moh. Syarif Hidayat

Benar-benar terlalu.
Dengan alasan yang tak dangkal mereka menolak begitu saja. Di mana empati mereka sebagai manusia. Apakah kekuasaan harus seperti itu. Memilah-milah, memilih-milih, dan berlaku seenaknya tanpa peduli dengan jeritan hati orang yang bahkan baru hari ini berurusan dengan mereka. Jika tidak karena istri dan kesadaran untuk melapor rakyat aku harus berhadapan dengan mereka. Tapi apa yang kuperoleh? Huh. Penolakan yang tak berperikemanusiaan!
Di saat-saat seperti ini, otakku agak jalan. Kutelepon seorang teman. Kuceritakan peristiwa yang harus menimpa keluargaku. Peristiwa yang membuat aku menyesal di kemudian hari dan terkadang mengutuk diri sendiri. Dan ini gara-gara Air. Ah, kenapa air juga yang harus disalahkan?
Aku tak menyangka jika kemudian suasananya menjadi seperti ini.
Sekian puluh polisi datang lengkap dengan pimpinannya. Tim SAR telah lebih dulu datang dengan berbagai peralatannya. Setelah basa-basi sebentar, mereka bergerak menuju sungai. Sebagian polisi menyusuri pinggiran sungai, sebagian lagi bersama Tim SAR telah berada di atas perahu karet membelah sungai dengan dayungnya. Pelan-pelan mereka bergerak. Bergerak mereka pelan-pelan. Sesekali batangan bambu atau kayu mereka arahkan ke kedalaman sungai. Berharap ada benda yang tersangkut. Berjam-jam mereka melakukan itu. Dan hasilnya, nihil.
Terdengar keluh kesah. Di wajah mereka kubaca gurat kekecewaan. Tetapi aku tak tahu persis, apakah kekecewaan mereka diakibatkan oleh kegagalan ataukah karena mereka harus melakukan pekerjaan ini. Pekerjaan yang bagi mereka menjadi begitu menyiksa.
Aku jadi teringat penolakan tadi pagi di kantor mereka.
“Ini hari Sabtu, Pak!”
“Tapi ini menyangkut nyawa orang.”
“Personil kami sebagian besar tidak masuk kantor.”
“Tapi kan masih ada beberapa orang yang bisa dimintai tolong, pak?”
“Ah, pokoknya tidak bisa. Titik!”
Hmm. Kalau membayangkan kejadian tadi pagi aku jadi geli sendiri. Kenapa sekarang mereka kemudian ada di sini? Diam-diam kuucapkan terima kasih. Dalam hati.
Siang semakin terik namun pencarian tak kunjung menemukan hasil.
Seorang anggota polisi yang tadi ikut melakukan pencarian bergegas menemui komandannya. Berbisik-bisik. Komandan polisi itu kemudian menemui seorang lelaki lain yang berdiri di atas tebing. Ia sedang asyik mengamati dan sesekali menimpali obrolan beberapa orang di sekelilingnya. Mereka berseragam. Dan aku ada di sana. Risi dan minder.
“Lapor, Pak!”
“Bagaimana?”
“Dengan izin Bapak, pencarian untuk sementara dihentikan karena hari semakin terik!”
“Ya, sebaiknya kita istirahat dulu.”
Komandan itu kembali menuruni tebing dan bergabung dengan anak buahnya.
Kulihat perahu karet merapat. Mereka menghentikan pencarian.
Aku kecewa. Maafkan aku, Tun.
***
“Hmm. Kalau menurut Abah, istrimu baru akan muncul nanti tepat pukul lima sore.”
Ada kegembiraan menyeruak dalam hati. Kegembiraan di bawah bayang-bayang kepedihan.
Kusimpan informasi itu diam-diam. Hanya anakku saja yang tahu. Anakku yang erat kupeluk dan terus memanggil ibunya.
“Terima kasih, Bah.” Hanya itu yang dapat kusampaikan.
“Ya, Saran Abah, kamu cari nanti selepas Asar.”
Setelah mengucapkan terima kasih berulang kali, Aku bergegas kembali ke sungai.
Selepas Asar pencarian dilanjutkan. Beberapa orang polisi kembali menaiki perahu karet. Dua orang berpakaian selam kemudian menceburkan diri ke sungai. Mereka menyelam.
Bersama beberapa orang tetangga, Aku pun ikut mencari.

05 November 2009

TELAH KUKIRIMKAN PADA ALAMAT ITU

Telah kukirimkan pada alamat itu
sebuah tanda yang dapat diterjemahkan dengan leluasa
tergantung engkau mau memandangnya apa
atau sebagai apa

jika engkau kemudian bertanya untuk apa?
aku akan kelabakan menjawabnya
karena memang aku tidak tahu untuk apa
atau sebagai apa

terima saja dengan tangan terbuka
sampingkan setiap prasangka
yang hadir ketika engkau membukanya
anggaplah bahwa itu rezeki tak terduga

aku justru sedang menduga-duga.

Depok, 5 November 2009

04 November 2009

DI DEPOK (Puisi Spontan)

Di Depok,
rimbun daun telah sirna
kecuali pohon belimbing di pekarangan ini.

Di Depok,
jalan-jalan berubah warna
kecuali di jalan setapak ini.

Di Depok
matahari makin meninggi
panas menyengat tak henti-henti.

Di Depok
aku harus berdiri.

Depok, 4 November 2009

03 November 2009

SANG PENARI

CERPEN MOH. SYARIF HIDAYAT


Kami dipertemukan di sebuah tempat yang biasa. Tempat bertemunya manusia dalam satu tujuan yang pasti. Tujuan yang menyiratkan secercah harapan demi proses penyembuhan terhadap penyakit fisik, terkadang pula penyakit batin. Di sini, di suatu tempat ketika nuansa putih congkak bertahta menyingkirkan warna-warna lain yang seolah-olah menyimbolkan sesuatu dari sesuatu yang lain. Apakah itu bernama kesucian? Entahlah.

Aneh juga melihat ia tergeletak tak berdaya di balik kelambu putih itu. Jaraknya begitu dekat dengan bilik Mamaku yang terbaring lemah. Mereka memang dua dari sekian banyak orang yang terjangkit penyakit yang sama. Muntaber. Penyakit yang datang bagai gelombang, menghantam fisik-fisik manusia yang tidak memiliki pertahanan diri yang cukup untuk menghalaunya. Maka dengan seketika penyakit musiman tersebut mewabah di seantero kampung, kota kecamatan, hingga kota kabupaten. Beberapa orang dikabarkan memang telah sampai kepada pertahanan terakhirnya. Mereka tidak mampu menanggungnya lagi, biarpun berbagai bantuan medis telah dilakukan. Jika alam menginginkan dan jika Yang Mahakuasa berkehendak, manusia hanya bisa pasrah dan berdoa di detik-detik terakhir kematian, semoga mendapatkan jalan yang lapang di dunia selanjutnya.

Aku sendiri sudah pasrah menerima kenyataan jika kemudian Mamaku mendapat giliran didatangi malaikat maut. Yang pasti, aku yakin bukan karena penyakit itu Mama menyerah, melainkan pada kenyataan lain yang memang telah menjadi takdirnya sebagai seorang tua yang sakit-sakitan. Berbagai penyakit memang menghinggapi tubuhnya belakangan ini. Yang paling parah adalah stroke yang membuatnya tak berdaya untuk berdiri sekali pun sehingga aku sebagai anak lelaki satu-satunya yang masih membujang harus siap menjadi penjaga dan pembantu utamanya, bahkan ke tempat yang paling pribadi pun telah menjadi bagian dari rutinitasku saat itu.

Mama memang telah berusia uzur untuk seukuran manusia kebanyakan sehingga jika pun ia kemudian dijemput pulang tentu harus sudah siap direlakan. Toh manusia hanyalah hamba yang hanya bisa berharap berumur panjang. Semua keputusan tentang hidup dan mati hanyalah Milik-Nya. Sebagai anak yang ingin berbakti kepada orangtua, melayani di akhir hidupnya tentu sudah menjadi kewajiban. Aku pun sudah ikhlas-rela jika memang demikian adanya. Lebih cepat lebih baik karena aku sendiri tak tahan dengan penderitaan yang dialaminya selama ini. Siapa juga orang yang tidak tersiksa dengan hidup yang hampir 180 derajat terbalik dengan kebiasaan sebelumnya. Hanya atas nama ketabahan dan iman di hatilah yang membuat orang mampu bertahan dalam keadaan itu. Tetapi wanita di bilik sebelah ini tentu bukan manusia seperti Mamaku.

Dari selentingan kabar yang kuperoleh dari saudara-saudara di kampungku, aku tahu bahwa dia adalah bintang panggung di sebuah kota kecamatan. Memang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal leluhurku. Bahkan jika aku pulang kampung, tempat tinggalnya pasti kulewati.

Pengetahuan baru yang hanya kuperoleh jika aku pulang ke Rawamerta adalah bahwa dia adalah seorang penari jaipong. Ya, penari jaipong. Semula yang kubayangkan adalah penari jaipong seperti Tati Saleh yang terkenal itu. Ternyata aku salah. Aku justru teringat Srintil, Ronggeng Dukuh Paruk itu atau kesenian rakyat yang pernah hadir dalam sejarah leluhurku di Panjalu. Sejarah yang kuperoleh dari buku cerita anak-anak yang justru kuperoleh di Gramedia, bukan di kampung halamanku. Bisa jadi cerita itu telah berkembang menjadi demikian fiksi yang anehnya justru kupercayai pernah terjadi. Salah satu peristiwa dalam buku itu yang kuingat adalah begitu identiknya kesenian Tayub berada di dalam lingkaran sejarah kampung halamanku di Priangan Timur sana. Masih tergambar jelas dalam ingatanku ketika Prabu Borosngora muda dengan seriusnya menari mengikuti gerak penari tayub. Ahh. Apakah darah leluhurku masih mengalir di aorta darahku? Entahlah. Yang pasti, sekarang aku mulai memperhatikan dengan serius obrolan adikku dengan Laela, penari jaipong itu.

“Teh, itu kakaknya, ya?” Kudengar suara lirih dari bilik sebelahku. Saat itu aku memang sedang menunggui Mama yang sedang berak di pispot. Meskipun terdengar sangat lirih, lebih ke berbisik namun telinga tajamku masih bisa menangkap suara tersebut.

“Iya. Baru datang tadi siang.” Suara adikku terdengar berbisik pula.

Aku jadi penasaran. Seraya membantu mencebok bekas kotoran di dubur Mama dan merapikan kembali sisa-sisa kotoran di tempat tidurnya, kupertajam pendengaranku. Penasaran dengan percakapan selanjutnya.

“Baik sekali ya kakak Teteh.” Terdengar kembali suara lirih.

“Emang tinggal di mana. Kok baru keliatan?” Lela bertanya kembali kepada adikku.

“Hayoo. Bisik-bisik!” Naluri konyolku sebagai lelaki muda anak kuliahan muncul. Aku telah selesai menamatkan pekerjaanku saat itu dan kulihat Mama sudah kembali beristirahat. Menutup mata. Entah apa yang dibayangkannya. Aku yakin meskipun matanya tertutup, Mama belum tertidur. Hanya karena kelelahan yang amat sangatlah ia harus merelakan matanya tertutup secara spontan atas kehendak naluri tubuhnya.

Dengan pelan kusibakkan ujung kain yang menjadi pembatas antara tempat mamaku terbaring dengan perempuan penari ini. Hanya ada dua orang perempuan di sana. Yang satu adalah adikku yang duduk di pinggir tempat tidur. Di tangan adikku ada piring dengan makanan semacam bubur. Adapun perempuan yang satu lagi terbaring indah di tempat tidurnya.

Sejenak aku tertegun menatap perempuan itu. Oalah gusti. Apakah ini Desi Ratnasari? Wajahnya itu lho. Mirip sekali dengan artis asal Sukabumi itu. Matanya memang terlihat sayu dan tubuhnya agak kurus, mungkin karena terlalu banyak mengeluarkan cairan. Namun, aku masih melihat kecantikan alami yang terpancar dari dirinya. Kecantikan yang bukan basa-basi karena polesan kosmetik.

Kupandangi wajah itu. Ada kegugupan tergambar dari raut mukanya.

“Lagi ngobrol apaan nih?”

“Eh, Ka. Ini...Laela pingin ada teman ngobrol katanya.” Adikku yang menjawab.

“ooooh.”

Kulihat rona memerah di wajahnya.

“Iya, A. Laela ga ada teman ngobrol. Bapak sedang ngurus obat di apotek sedangkan ibu nanti sore baru datang.”

Aku sebenarnya tidak terlalu pandai ngobrol dengan perempuan. Apalagi perempuan di hadapanku adalah orang asing yang baru kukenal pada saat itu. Hanya karena kehadiran adikkulah aku bisa bersikap tidak terlalu kaku. Sesudah bersalaman, beberapa pertanyaan dan jawaban mengalir sekira dua sampai tiga menit. Obrolan yang biasa seputar nama, tempat tinggal, dan tentu saja penyakit.

“Saya permisi keluar dulu ya. Silakan deh dilanjutkan obrolannya.”

“Oh iya, Silakan A.”

Hari-hari selanjutnya adalah kebahagiaan. Suasana hati yang mungkin hanya aku yang tahu. Rumah sakit memang tempat yang menjemukan. Apalagi jika harus tinggal di sana. Bagi si sakit sendiri sudah sangat menjenuhkan. Yang menungguinya apalagi. Bagi mereka, lebih cepat meninggalkan tempat ini lebih baik. Apalagi jika kemudian si sakit juga sudah menunjukkan gejala sembuh. Namun bagiku saat itu, semakin lama justru semakin baik karena dengan begitu aku pun akan berlama-lama pula bertemu dengan perempuan cantik di bilik sebelah. Ah...Laela.

***

Sesekali memang aku harus meninggalkan rumah sakit sekadar melepaskan lelah dan kepenatan karena harus terus-terusan melayani mamaku. Tempat yang kutuju memang rumah mama di Rawamerta. Untuk sampai ke tempat itu aku harus naik angkot yang berangkat jika penumpangnya sudah penuh. Kali ini aku lebih memperhatikan tempat-tempat yang dilalui. Berbekal penjelasan dan gambaran mengenai tempat tinggalnya, kusempatkan menengok lewat jendela angkot ketika kendaraan ini mulai memasuki wilayah Lamaran. Ah ya. Di sinilah sang penari itu tinggal. Kuperhatikan dengan saksama pemandangan yang menjelma frame film itu. Berkelebatan cepat dan terkadang lambat tergantung kecepatan sopir mengemudikan angkotnya. Sesekali mataku tertuju agak lama kepada beberapa papan nama di pinggir jalan.

Semua papan nama tersebut memiliki kesamaan. Bukan pada ukiran nama yang begitu mencolok dengan latar putihnya, melainkan pada urutan kata yang terpampang di sana. “Grup Jaipongan”. Ya, jika dihitung mungkin ada sekitar lima atau lebih papan nama yang mengusung frasa itu. Hmm. aku tidak begitu memperhatikan lagi tempat-tempat yang dilalui angkot ini. Lamaran sudah berlalu. Yang terbayang dalam anganku adalah Dawuan, Dukuh Paruk, Rasus, dan....Srintil. Aku seolah berhadapan dengan gambaran imajinasi Ahmad Tohari tentang Srintil dan kehidupan di dukuhnya. Aku tersadar ketika kusadari bahwa imajinasi pengarang ini ada di Jawa sana. Sementara tempat ini jauh di Utara. Namun, imajinasiku berlanjut ketika angkot melewati pematang sawah yang menjelma jalan aspal menembus hamparan sawah yang seolah tak bertepi. Di depan sana ada rimbun pepohonan yang menandakan ada perkampungan. Aku jadi teringat kembali Dukuh Paruk.

Tinggal melewati tiga perkampungan lagi maka aku akan sampai ke tempat yang kutuju. Sebuah kota kecamatan yang dikelilingi rimbun pohon dan pesawahan. Tempat inilah yang setiap setahun sekali kukunjungi sekadar melepas rindu dan kewajiban seorang muslim untuk bersilaturahmi di saat lebaran.

Ada suasana khas yang kutemui jika aku berlebaran di sini. Suasana yang tak kutemui ketika di Bandung. Suasana khas pedesaan dan kesederhanaan yang terpancar dari rumah-rumah penduduk dan rimbun pepohonan di pekarangan.

Saat yang paling kusukai adalah ketika kami, para lelaki muda dan perempuan muda ngabungbang. Ngobrol ngaler-ngidul tentang segala hal, terkadang menyerempet ke wilayah pribadi seseorang, termasuk soal percintaan. Kami adalah keluarga besar maka rahasia terkadang malah menjadi milik bersama. Berita sekecil apapun bahkan menyebar lebih cepat dari api yang membakar rerumputan.

Di malam yang lain, kami, para penerus keturunan keluarga H. Makbul khusuk mendengarkan dongeng yang diceritakan oleh tetua kami. Tetua yang aku sebut Uwa karena memang beliau adalah kakak tertua Mama yang masih hidup. Dongeng yang lebih mirip hikayat tersebut pada awalnya memang tidak begitu menarik perhatian dan terkadang malah membuat kami terkantuk-kantuk.

Yang membuat kami betah ketika Uwa Emuh mendongeng adalah karena di hadapan kami terhampar begitu banyak penganan dan tentu saja kopi hitam. Penganan lebaran yang khas kampung menjadi favorit bagi perutku karena memang jarang ditemukan di kota. Adapun kopi telah menjadi teman yang setia menjadi pengusir kantuk yang mujarab meskipun tidak selalu demikian. Obrolan dan dongeng yang menariklah yang membuat mata kami masih terbuka hingga ujung malam.

Jika ada Mama, sesekali apa yang didongengkan oleh Uwa Emuh bisa menjelma menjadi perdebatan. Maka Uwa Emuh, Mama, Mang Ombay, Wa Ahmad, bahkan Mang Hasan saling beradu argumen. Yang sering menjadi pangkal perdebatan adalah jika Uwa Emuh sudah menyerempet ke wilayah agama. Jika sudah mulai menyimpang, Mama lah yang menjadi juru penengahnya. Pengalamannya menjadi santri selama sekian tahun dan mengelola Masjid di Padasuka menjadi catatan tersendiri di tengah-tengah keluarga besar kami. Terlebih Mama adalah satu-satunya keturunan H. Makbul yang hidup di kota, jadi pegawai pemerintah pula. Maka, martabat dan derajatnya sedikit lebih tinggi dari saudara-saudaranya yang lain, tak terkecuali dari kakaknya sendiri, Uwa Emuh. Di masa sehatnya, Mama adalah tempat mengadu dan mengeluh bagi saudara-saudaranya yang lain, bahkan terkadang tempat meminta bantuan jika mereka sudah terdesak kebutuhan. Demikianlah.

***

Aku sudah lama beristirahat di rumah ini. Semalaman. Pagi ini aku harus kembali ke rumah sakit daerah itu. Kembali mengurusi Mama yang belum sembuh dari komplikasinya. Saat aku sedang merapikan perbekalan di ruang tamu untuk dibawa ke rumah sakit, Aab, anak pamanku menghampiri sambil menyungging senyum.

“Ke rumah sakit lagi, Ka?”

“Iya.”

“Bagaimana kabar Mama?”

“Yah, kayaknya harus menunggu beberapa hari lagi. Belum sembuh benar dari muntabernya.” S

“Sabar saja, Ka. Mudah-mudahan cepat sembuh.”

“Oh ya..Bagaimana kabar tetangga kita?”

“Maksud Aab?”

“Lah...itu lho...penari jaipongan.” Ada nada canda dalam suaranya.

“Oooh...Laela maksudnya?” “Baik..Baik. Sepertinya dia akan cepat pulang.”

“Sayang dong...”

“Padahal cocok jadi pendamping.”

Aku hanya bisa tertawa mendengar candaan saudaraku ini. Pendamping. Hmmm. Pendamping hidup? Belum terpikirkan olehku yang masih meniti jalan hidup ini. Menjadi sarjana adalah fokus utamaku saat ini. Tinggal menyelesaikan skripsi maka bereslah urusanku. Mencari pendamping? Tidak semudah itu bagiku. Yang terbayang justru bagaimana mencari kerja, membangun rumah, baru kemudian mencari pendamping hidup. Idealis memang, tetapi tidak apa-apa toh bermimpi. Bukankah bermimpi adalah sumber kekuatan untuk mewujudkan keberhasilan?

Akan tetapi, hati kecilku malah memberi peluang untuk jawaban lain.

“Jadi pacar, bolehlah.” Sahutku dengan nada bercanda.

“Ha..ha..ha.. Biar aku yang jadi Mak Comblangnya.”

Ah dasar saudaraku ini. Tapi memang bisa dipahami jika dia mau jadi Mak Comblang. Tempat tinggal Aab terhitung dekat dengan Laela. Namanya juga kampung tetangga. Segala sesuatu tentang Laela dan kehidupannya tentu sudah diketahuinya pula. Ah..biarlah alam memainkan kuasanya.

“Sudah ah. Aku pamit dulu, keburu siang.”

“Ya deh. Salam buat Mama dan Laela ya!”

Seraya mengiyakan aku segera beranjak menuju tempat pemberhentian angkot. Tujuanku satu, RSD Adiarsa.

***

Seminggu di rumah sakit serasa satu hari bagi diriku. Waktu begitu cepat berlalu. Ada sesuatu yang nampak akan hilang dari jiwaku.

Ya..Laela hari ini akan pulang. Termasuk juga aku. Jika Laela sudah benar-benar sembuh dari Muntabernya, lain halnya dengan Mama. Ia bersikeras ingin pulang meskipun dokter tidak mengizinkan. Aku bisa memahami keinginan Mama. Seminggu di rumah sakit adalah siksaan nyata baginya yang biasa aktif mengerjakan berbagai hal jika berada di rumah. Rengekannya terkadang malah melebihi anak kecil. Aku pun menjadi iba karenanya. Setelah berunding dengan kakak perempuanku, akhirnya kami pun memutuskan untuk berobat jalan saja. Maka inilah hari perpisahan itu. Dengan Laela tentunya.

Kusempatkan untuk melihat bilik di sebelahku. Di sana sudah ada orang tua Laela. Kusapa mereka dengan bahasa yang paling halus. Selanjutnya Laela memperkenalkan diriku kepada kedua orang tuanya. Sesekali matanya mengerling nakal seolah keakraban telah menjadi milik kami berdua. Gelagat itu bisa jadi luput dari pengamatan orang tuanya. Tapi tak apalah, biarlah itu menjadi rahasia kami berdua, kami yang masih muda.

Sesaat kemudian orang tua Laela pamit untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit. Aku dibiarkan berdua dengannya. Tentu ini hal yang paling kuinginkan.

“A, setelah ini mau kan mengunjungi rumah Laela?”

“Insya Allah.”

“Yaa...kok Insya Allah...yang pasti dong.”

“Lho...kalau Allah tidak mengizinkan gimana?” Selorohku.

Ada sedikit raut kekecewaan terhampar di hadapanku.

“Kapan pulang ke Bandung?”

“Mungkin sekitar semingguan lagi deh.” Jawabku. “Saya masih harus tinggal dulu di Rawamerta. Menunggui Mama.”

“Hmmm. Boleh ‘kan jika Laela mengirim surat?”

Aku pun mengangguk. Kami pun kemudian saling bertukar alamat surat. Aku tidak tahu perasaan apa yang berkecamuk pada saat itu. Seolah ada tembok tebal yang menghalangi, namun entah apa.

Seminggu memang bukan waktu yang cukup untuk menjalin ikatan batin antarmanusia yang mulai menumbuhkan benih-benih pengharapan. Meskipun demikian satu minggu sudah cukup untuk mematrikan peristiwa dalam lubuk hati paling kanan. Peristiwa yang tentu sangat berkesan bagi orang-orang yang memuja dewi kasmaran.

***

Pukul sembilan malam saat kuselesaikan tulisanku. Dua peristiwa berkelindan di mataku. Yang satu adalah Srintil, Rasus, dan Dukuh Paruk, serta yang satu lagi adalah Laela, penari jaipong itu dan...aku.

Penghayatanku tentang ronggeng tentu tak sebaik penulis terkemuka itu. Namun setidaknya dari pengalamanku sendiri aku dapat merasakan sesuatu. Sesuatu yang dialami Rasus di masa-masa pengembaraannya. Sebuah rindu yang tak mampu terucapkan namun kurasakan menjalar demikian syahdu di aorta ingatanku.

Ada sebuah surat warna merah jambu di sampingku. Ia telah setia bertahun-tahun menempati ruang pribadiku. Ada lagu yang menyayat hati: kamu harus cepat pulang... dilanjutkan dengan maafkanlah aku acuhkan dirimu... mengalun dari laptopku. Ah..sebuah melankolia malam hari.

Malam merambat pelan. Ingatanku memudar. Yang terbayang kini adalah rumah kontrakan, dua orang jagoan, seorang perempuan, dan lambaian.

Depok, 28 Oktober 2009

Biodata:

Moh. Syarif Hidayat (Sarip Hidayat) lahir di Panjalu, Ciamis, 28 Juli 1976. Alumni Jurdiksatrasia UPI Bandung dan kini tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana Program Studi Susastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Ia pun tercatat sebagai tenaga peneliti di Balai Bahasa Bandung. Beberapa karyanya berupa puisi, resensi, dan esai sastra pernah menghiasi berbagai rubrik budaya di Republika, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Galamedia, Bandung Pos, dan media lainnya. Puisinya tercatat pula dalam antologi puisi Graffiti Gratitude (YMS, 2001) dan Ketika Matahari....(ASAS, 1998).

Alamat pos-el: mohsyarifhidayat@ymail.com


SAJAK-SAJAK NOVEMBER

MOH. SYARIF HIDAYAT


DAYANG SUMBI

-dinayoga

Engkau datang dari utara

Menerjemahkan dongeng purbakala menjadi nyata

Senyata penglihatanku melihat pesonamu

Bidadari yang mengusik rindu.

Mereka terpana, mereka terpesona

Tepuk tangan bergemuruh begitu lama

Selama kumenatap wajah yang ayu

Dayang sumbikah itu?

Sangkuriang! Dimanakah kamu?

Ahai ternyata di situ

Bersemayam dalam diriku

”Mari, mari, kusambut selendangmu.” Katamu.

Dayang Sumbi! Engkaukah itu?

Bukan! Aku Dina, tetapi indangnya ada di dalamku.

Depok, Oktober 2009




BANDUNG-PANJALU

Bandung Bandung Bandung

Siapa yang mau ke Bandung?

Elf ngetem cari muatan

Datang ke Bandung lima jam kemudian

Jalu jalu jalu!

Jalu neng?

Elf nongkrong di stasiun hall

Pulang ke Panjalu terasa pegal

Huh!

Kucatat: Lima tahun tak pulang-pulang!

Memilih lebaran di Kuningan.

Bandung, 2009



DI KANSAS

Apa yang kau cari di sini Fa?

Makanan, kopi hangat, atau jus mangga?

Aku mencari puisi!

Tak ada. Betul-betul tak ada.

Bagaimana mungkin menulis puisi di sini

Kalau bourdieu, Foucault, dan Derrida mungkin ada

Tapi sepertinya juga menguap di udara.

Kemana kucari puisi?

Aha. Mungkin di taman, danau,

Atau di jembatan merah?

Tak ada. Betul-betul tak ada.

Jadi?

Kucari di kostan saja

Mungkin terselip di tumpukan celana.

Depok, 29 November 2009


Permulaan

Blog ini akan saya isi dengan tulisan-tulisan terbaru saya, khususnya puisi, cerpen, penggalan novel, atau esai. Semoga saya punya waktu untuk terus memutakhirkan tulisan di blog ini. Selamat menikmati!