17 December 2009

SEKSUALITAS: DARI RUANG PRIVAT KE RUANG PUBLIK

Oleh Moh. Syarif Hidayat


Tak elok rasanya jika membahas seksualitas tanpa melibatkan Foucault karena dalam sebuah bukunya yang terkenal The History of Sexuality (1979) membongkar sejarah seksualitas dan berbagai perubahan pandangan terhadap objek ini.
Menurut Foucault, pada awal abad XVII kegiatan yang mengarah kepada seksualitas masih sangat terbuka. Pada masa itu masih dijumpai kegiatan seksual yang tidak ditutup-tutupi. Kata-kata bernada seks dilontarkan dengan bebasnya, dan berbagai hal yang menyangkut seks tidak disamarkan. Ketika itu yang harap dianggap halal. Ukuran untuk tingkah laku vulgar, jorok, tidak santun sangat longgar. Kita masih bisa menemukan berbagai kial yang menjurus, kata-kata polos, pelanggaran norma yang terang-terangan, aurat yang dipertontonkan, anak-anak bugil yang lalu-lalang tanpa rasa malu ataupun menimbulkan reaksi orang dewasa: tubuh-tubuh, pada waktu itu, tenggelam dalam keasyikan.

Perubahan pandangan terhadap seksualitas kemudian terjadi di masa ratu Victoria berkuasa. Pada masa tersebut kaum-kaum borjuis sangat berperan dalam masyarakat. Golongan mereka mulai mengatur perilaku masyarakat golongannya sendiri dan berimbas pula kepada masyarakat umum. Dalam bahasa Foucault, pada zaman itu seksualitas dipingit rapi dan dirumahtanggakan. Dia menulis
Seksualitas menjadi jumud. Suami-istri menyitanya dan membenamkan seluruhnya dalam fungsi reproduksi yang hakiki. Orang tidak berani lagi berkata apa pun mengenai seks. Pasangan, yang sah dan pemberi keturunan, menentukan segalanya. Pasangan muncul sebagai model, mengutamakan norma, memegang kebenaran, mempunyai hak untuk berbicara dengan tetap memelihara asas kerahasiaan. Di masyarakat, sebagaimana di setiap rumah tangga, satu-satunya tempat yang dihalalkan bagi seksualitas—bahkan yang dikhususkan untuk itu dan amat subur—adalah kamar orang tua. Segi-segi lain dari seksualitas hanya merupakan jejak kabur. Kesantunan menghindari pengacuan badaniah, percakapan sehari-hari dibersihkan dari kata-kata “berani”. Sementara itu, orang mandul, jika terlalu menegaskan keadaannya dan terlalu menonjolkan diri, berisiko disebut tidak normal: ia akan menerima status itu dan harus menerima sanksi sosial.

Seiring perubahan zaman, terutama ketika kebebasan dan globalisasi melanda masyarakat Barat pada zaman ke-19, pandangan terhadap seksualitas kembali menunjukkan perubahan. Perubahan yang dalam kasus Indonesia masih terasa lambat. Artinya, sebagai orang Timur, seksualitas masih harus berbenturan dengan berbagai norma yang selama ini telah menjadi domain yang sangat penting dan berkuasa dalam budaya Timur sehingga seksualitas memang masih tetap menempati posisinya di ruang privat yang hanya boleh disentuh oleh orang-orang yang balig.
Namun demikian, globalisasi yang membawa arus perubahan terhadap cara pandang masyarakat terhadap masyarakat dan membawa pula ekses-ekses negatif (dalam pandangan budaya Timur) memerlukan jalan keluar yang lebih baik sehingga sebagai bangsa dapat menempatkan diri pada bangsa yang beradab sekaligus berkeadilan.
Globalisasi (meskipun bukan satu-satunya yang menjadi sebab) telah menghantarkan persoalan seksualitas ke ruang yang lebih luas. Di dunia Barat, seksualitas telah kembali ke sejarah awalnya sebagai sesuatu yang tidak lagi ditabukan untuk dibicarakan atau dipertontonkan. Dalam hal ini batas-batas antara ruang privat dan ruang publik menjadi samar sebagaimana dikatakan oleh Berlant (dalam During, 1993).
Bagaimana sebenarnya memosisikan seksualitas di ruang publik? Ada baiknya pula kita mengetahui terlebih dahulu mengenai ruang publik. Menurut Habermas (1989), ruang adalah suatu wilayah yang muncul pada ruang spesifik dalam ‘masyarakat borjuis’. Ia adalah ruang yang memerantarai masyarakat sipil dengan negara, di mana publik mengorganisasi dirinya sendiri dan di mana ‘opini publik’ dibangun. Lebih lanjut dikatakannya bahwa di dalam ruang ini individu mampu mengembangkan dirinya sendiri dan terlibat dalam debat tentang arah dan tujuan masyarakat. Habermas kemudian mendokumentasikan apa yang dia lihat sebagai kemunduran ruang publik akibat perkembangan kapitalisme yang mengarah kepada monopoli dan penguatan negara. Namun, dia mencoba meletakkan pembaruan ini dengan istilah ‘situasi bertutur ideal’ di mana klaim kebenaran yang saling bersaing terikat kepada debat dan argumen rasional. Jadi, ruang publik dikonsepsikan sebagai ruang bagi debat yang didasarkan pada kesetaraan konversasional.
Namun, sebagaimana dikatakan Fraser (dalam Barker, 2009), dalam praktiknya kondisi semacam itu tidak pernah ada. Justru, ketimpangan sosial menegaskan bahwa warga negara tidak mendapatkan akses setara terhadap ruang publik. Kelompok-kelompok subordinat tidak memiliki kesamaan dalam berpartisipasi dan mereka tidak memiliki ruang untuk mengartikulasikan bahasa, kebutuhan, dan keinginan mereka. Menurut Fraser, konsep modern Habermas tentang ruang publik memerlukan penggerak yang fungsinya untuk mengelompokkan perbedaan status, menyelenggarakan diskusi dalam rangka mempertanyakan kebaikan bersama (mengesampingkan kepentingan bersama) dan menciptakan satu ruang publik saja (karena memang ini adalah milik bersama).
Karena ketimpangan sosial tidak bisa dikesampingkan, banyak isu pribadi menjadi isu publik (misalnya kekerasan dalam rumah tangga), dan ada kebaikan-kebaikan umum tertentu yang saling bersaing, maka dia menyatakan bahwa konsepsi pascamodern tentang ruang publik harus menerima keinginan publik yang beragam dan ruang publik yang beragam sambil pada saat yang sama berusaha mereduksi ketimpangan sosial. Dia berpendapat bahwa feminisme merepresentasikan ‘ruang publik tandingan’ bagi debat dan aktivitas politik.
Isu-isu seksualitas memang telah pula menjadi isu publik yang terkadang memang masih sangat sensitif. Lebih jauh persoalan ini tidak melulu pada seksualitas sebagai tindakan tetapi juga hubungannya dengan kajian gender. Konsep performativitas yang dikemukakan Butler menyentuh pula hubungan seksualitas dengan ruang publik. Bagaimana sebuah performativitas gender direspon oleh masyarakat luas yang masih belum menerima konsep-konsep tentang tubuh dan kekaburan definisi mengenai seks dan gender.
Masyarakat di ruang publik akhirnya dihadapkan pada kompleksitas seksualitas yang beragam yang sering berbenturan dengan dogma-dogma dan norma-norma masyarakat yang menjadi kuasa utama dalam urusan moral dan adab bermasyarakat. Persoalan yang kemudian timbul adalah bagaimana menjadikan tema seksualitas dapat diterima secara jernih oleh masyarakat dan tidak menimbulkan isu-isu negatif yang lebih mengarah pada kemunafikan-kemunafikan yang disimpan diam-diam dan pada akhirnya justru menjadi serba salah sendiri.
Seksualitas memang dipahami juga sebagai ajaran dan topik yang dibahas di setiap agama, yang selama ini menjadi penjaga moral umat, dan bahkan ada aturan-aturan terhadapnya. Benturan antara agama dan sekularisme maupun hedonisme yang hidup bersama-sama di suatu masyarakat sebagai aturan moral yang saling mencari pengaruh menjadikan seksualitas seperti bola yang bergulir kesana-kemari.
Ruang publik menjadi arena pertempuran yang demikian ramai dengan berbagai isu dan saling hujat. Seksualitas sebagai naluri alami manusia harus memosisikan dirinya menurut kuasa yang dominan di ranah tersebut. Seperti juga ketika golongan victorian mendudukkan seksualitas di wilayah privat.
Dalam pandangan Foucault, kuasa yang bermain di masyarakat, terlebih jika dihubungkan dengan berbagai aparatus yang disebutkan Baurdeiu akan tetap menjadi pengendali terhadap berbagai gejala perubahan budaya yang ada di masyarakat. Keinginan sebagian kalangan yang memosisikan seksualitas sebagai sesuatu yang lumrah dan penuh kebebasan seperti di abad ke-17 akan tetap berbenturan dengan kekuatan tak terlihat yang selama ini menjadi penggerak dan pendorong individu-individu di masyarakat untuk menghakimi sesuatu itu benar atau salah berdasarkan nilai-nilai yang telah tertanam dengan kuat pula. Meskipun sedang terjadi kemerosotan terhadap norma atau nilai-nilai masyarakat tersebut, kekuatan norma masih tetap ada pengaruhnya sepanjang penjaga-penjaga norma masih ada.
Hal ini berbeda dengan apa yang dialami masyarakat di abad ke-17 yang lebih bebas mempertontonkan kebebasan seksual. Kini, aparatus-aparatus yang berkuasa di masyarakat masih terlalu kuat untuk diruntuhkan dan dengan demikian, seksualitas masih harus mengikuti arah yang ditunjukkan oleh aparatus-aparatus tersebut. Dalam arti bahwa pengusung kebebasan seksualitas di ruang publik masih harus berjuang untuk mendobrak aparatus-aparatus tersebut.
Jadi, meskipun kini seksualitas sudah mulai merambah ke ruang publik, ia masih tetap harus berhadapan dengan berbagai pandangan dan pendapat di ruang tersebut. Berbagai aturan, larangan, penghakiman, dan bahkan hukuman akan membatasi ruang geraknya.

Daftar Pustaka
Barker, Chris. 2009. Cultural Studies: Teori & Praktik. (Cet. Kelima). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Berlant, Lauren dan Michael Warner. 1993. Sex in Public. Dalam Simon During (Ed.) The Cultural Studies Reader. London, New York:Routledge.
Butler, Judith. 1993. Bodies That Matter: On the Discursive Limits of “Sex”. London: Roudledge.
Foucault, Michel. 1998. The Will to Knowledge: The History of Sexuality (Vol. 1). London: Penguin Books.

No comments:

Post a Comment