11 November 2009

AIR

Cerpen Moh. Syarif Hidayat

Benar-benar terlalu.
Dengan alasan yang tak dangkal mereka menolak begitu saja. Di mana empati mereka sebagai manusia. Apakah kekuasaan harus seperti itu. Memilah-milah, memilih-milih, dan berlaku seenaknya tanpa peduli dengan jeritan hati orang yang bahkan baru hari ini berurusan dengan mereka. Jika tidak karena istri dan kesadaran untuk melapor rakyat aku harus berhadapan dengan mereka. Tapi apa yang kuperoleh? Huh. Penolakan yang tak berperikemanusiaan!
Di saat-saat seperti ini, otakku agak jalan. Kutelepon seorang teman. Kuceritakan peristiwa yang harus menimpa keluargaku. Peristiwa yang membuat aku menyesal di kemudian hari dan terkadang mengutuk diri sendiri. Dan ini gara-gara Air. Ah, kenapa air juga yang harus disalahkan?
Aku tak menyangka jika kemudian suasananya menjadi seperti ini.
Sekian puluh polisi datang lengkap dengan pimpinannya. Tim SAR telah lebih dulu datang dengan berbagai peralatannya. Setelah basa-basi sebentar, mereka bergerak menuju sungai. Sebagian polisi menyusuri pinggiran sungai, sebagian lagi bersama Tim SAR telah berada di atas perahu karet membelah sungai dengan dayungnya. Pelan-pelan mereka bergerak. Bergerak mereka pelan-pelan. Sesekali batangan bambu atau kayu mereka arahkan ke kedalaman sungai. Berharap ada benda yang tersangkut. Berjam-jam mereka melakukan itu. Dan hasilnya, nihil.
Terdengar keluh kesah. Di wajah mereka kubaca gurat kekecewaan. Tetapi aku tak tahu persis, apakah kekecewaan mereka diakibatkan oleh kegagalan ataukah karena mereka harus melakukan pekerjaan ini. Pekerjaan yang bagi mereka menjadi begitu menyiksa.
Aku jadi teringat penolakan tadi pagi di kantor mereka.
“Ini hari Sabtu, Pak!”
“Tapi ini menyangkut nyawa orang.”
“Personil kami sebagian besar tidak masuk kantor.”
“Tapi kan masih ada beberapa orang yang bisa dimintai tolong, pak?”
“Ah, pokoknya tidak bisa. Titik!”
Hmm. Kalau membayangkan kejadian tadi pagi aku jadi geli sendiri. Kenapa sekarang mereka kemudian ada di sini? Diam-diam kuucapkan terima kasih. Dalam hati.
Siang semakin terik namun pencarian tak kunjung menemukan hasil.
Seorang anggota polisi yang tadi ikut melakukan pencarian bergegas menemui komandannya. Berbisik-bisik. Komandan polisi itu kemudian menemui seorang lelaki lain yang berdiri di atas tebing. Ia sedang asyik mengamati dan sesekali menimpali obrolan beberapa orang di sekelilingnya. Mereka berseragam. Dan aku ada di sana. Risi dan minder.
“Lapor, Pak!”
“Bagaimana?”
“Dengan izin Bapak, pencarian untuk sementara dihentikan karena hari semakin terik!”
“Ya, sebaiknya kita istirahat dulu.”
Komandan itu kembali menuruni tebing dan bergabung dengan anak buahnya.
Kulihat perahu karet merapat. Mereka menghentikan pencarian.
Aku kecewa. Maafkan aku, Tun.
***
“Hmm. Kalau menurut Abah, istrimu baru akan muncul nanti tepat pukul lima sore.”
Ada kegembiraan menyeruak dalam hati. Kegembiraan di bawah bayang-bayang kepedihan.
Kusimpan informasi itu diam-diam. Hanya anakku saja yang tahu. Anakku yang erat kupeluk dan terus memanggil ibunya.
“Terima kasih, Bah.” Hanya itu yang dapat kusampaikan.
“Ya, Saran Abah, kamu cari nanti selepas Asar.”
Setelah mengucapkan terima kasih berulang kali, Aku bergegas kembali ke sungai.
Selepas Asar pencarian dilanjutkan. Beberapa orang polisi kembali menaiki perahu karet. Dua orang berpakaian selam kemudian menceburkan diri ke sungai. Mereka menyelam.
Bersama beberapa orang tetangga, Aku pun ikut mencari.

No comments:

Post a Comment