03 November 2009

SANG PENARI

CERPEN MOH. SYARIF HIDAYAT


Kami dipertemukan di sebuah tempat yang biasa. Tempat bertemunya manusia dalam satu tujuan yang pasti. Tujuan yang menyiratkan secercah harapan demi proses penyembuhan terhadap penyakit fisik, terkadang pula penyakit batin. Di sini, di suatu tempat ketika nuansa putih congkak bertahta menyingkirkan warna-warna lain yang seolah-olah menyimbolkan sesuatu dari sesuatu yang lain. Apakah itu bernama kesucian? Entahlah.

Aneh juga melihat ia tergeletak tak berdaya di balik kelambu putih itu. Jaraknya begitu dekat dengan bilik Mamaku yang terbaring lemah. Mereka memang dua dari sekian banyak orang yang terjangkit penyakit yang sama. Muntaber. Penyakit yang datang bagai gelombang, menghantam fisik-fisik manusia yang tidak memiliki pertahanan diri yang cukup untuk menghalaunya. Maka dengan seketika penyakit musiman tersebut mewabah di seantero kampung, kota kecamatan, hingga kota kabupaten. Beberapa orang dikabarkan memang telah sampai kepada pertahanan terakhirnya. Mereka tidak mampu menanggungnya lagi, biarpun berbagai bantuan medis telah dilakukan. Jika alam menginginkan dan jika Yang Mahakuasa berkehendak, manusia hanya bisa pasrah dan berdoa di detik-detik terakhir kematian, semoga mendapatkan jalan yang lapang di dunia selanjutnya.

Aku sendiri sudah pasrah menerima kenyataan jika kemudian Mamaku mendapat giliran didatangi malaikat maut. Yang pasti, aku yakin bukan karena penyakit itu Mama menyerah, melainkan pada kenyataan lain yang memang telah menjadi takdirnya sebagai seorang tua yang sakit-sakitan. Berbagai penyakit memang menghinggapi tubuhnya belakangan ini. Yang paling parah adalah stroke yang membuatnya tak berdaya untuk berdiri sekali pun sehingga aku sebagai anak lelaki satu-satunya yang masih membujang harus siap menjadi penjaga dan pembantu utamanya, bahkan ke tempat yang paling pribadi pun telah menjadi bagian dari rutinitasku saat itu.

Mama memang telah berusia uzur untuk seukuran manusia kebanyakan sehingga jika pun ia kemudian dijemput pulang tentu harus sudah siap direlakan. Toh manusia hanyalah hamba yang hanya bisa berharap berumur panjang. Semua keputusan tentang hidup dan mati hanyalah Milik-Nya. Sebagai anak yang ingin berbakti kepada orangtua, melayani di akhir hidupnya tentu sudah menjadi kewajiban. Aku pun sudah ikhlas-rela jika memang demikian adanya. Lebih cepat lebih baik karena aku sendiri tak tahan dengan penderitaan yang dialaminya selama ini. Siapa juga orang yang tidak tersiksa dengan hidup yang hampir 180 derajat terbalik dengan kebiasaan sebelumnya. Hanya atas nama ketabahan dan iman di hatilah yang membuat orang mampu bertahan dalam keadaan itu. Tetapi wanita di bilik sebelah ini tentu bukan manusia seperti Mamaku.

Dari selentingan kabar yang kuperoleh dari saudara-saudara di kampungku, aku tahu bahwa dia adalah bintang panggung di sebuah kota kecamatan. Memang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal leluhurku. Bahkan jika aku pulang kampung, tempat tinggalnya pasti kulewati.

Pengetahuan baru yang hanya kuperoleh jika aku pulang ke Rawamerta adalah bahwa dia adalah seorang penari jaipong. Ya, penari jaipong. Semula yang kubayangkan adalah penari jaipong seperti Tati Saleh yang terkenal itu. Ternyata aku salah. Aku justru teringat Srintil, Ronggeng Dukuh Paruk itu atau kesenian rakyat yang pernah hadir dalam sejarah leluhurku di Panjalu. Sejarah yang kuperoleh dari buku cerita anak-anak yang justru kuperoleh di Gramedia, bukan di kampung halamanku. Bisa jadi cerita itu telah berkembang menjadi demikian fiksi yang anehnya justru kupercayai pernah terjadi. Salah satu peristiwa dalam buku itu yang kuingat adalah begitu identiknya kesenian Tayub berada di dalam lingkaran sejarah kampung halamanku di Priangan Timur sana. Masih tergambar jelas dalam ingatanku ketika Prabu Borosngora muda dengan seriusnya menari mengikuti gerak penari tayub. Ahh. Apakah darah leluhurku masih mengalir di aorta darahku? Entahlah. Yang pasti, sekarang aku mulai memperhatikan dengan serius obrolan adikku dengan Laela, penari jaipong itu.

“Teh, itu kakaknya, ya?” Kudengar suara lirih dari bilik sebelahku. Saat itu aku memang sedang menunggui Mama yang sedang berak di pispot. Meskipun terdengar sangat lirih, lebih ke berbisik namun telinga tajamku masih bisa menangkap suara tersebut.

“Iya. Baru datang tadi siang.” Suara adikku terdengar berbisik pula.

Aku jadi penasaran. Seraya membantu mencebok bekas kotoran di dubur Mama dan merapikan kembali sisa-sisa kotoran di tempat tidurnya, kupertajam pendengaranku. Penasaran dengan percakapan selanjutnya.

“Baik sekali ya kakak Teteh.” Terdengar kembali suara lirih.

“Emang tinggal di mana. Kok baru keliatan?” Lela bertanya kembali kepada adikku.

“Hayoo. Bisik-bisik!” Naluri konyolku sebagai lelaki muda anak kuliahan muncul. Aku telah selesai menamatkan pekerjaanku saat itu dan kulihat Mama sudah kembali beristirahat. Menutup mata. Entah apa yang dibayangkannya. Aku yakin meskipun matanya tertutup, Mama belum tertidur. Hanya karena kelelahan yang amat sangatlah ia harus merelakan matanya tertutup secara spontan atas kehendak naluri tubuhnya.

Dengan pelan kusibakkan ujung kain yang menjadi pembatas antara tempat mamaku terbaring dengan perempuan penari ini. Hanya ada dua orang perempuan di sana. Yang satu adalah adikku yang duduk di pinggir tempat tidur. Di tangan adikku ada piring dengan makanan semacam bubur. Adapun perempuan yang satu lagi terbaring indah di tempat tidurnya.

Sejenak aku tertegun menatap perempuan itu. Oalah gusti. Apakah ini Desi Ratnasari? Wajahnya itu lho. Mirip sekali dengan artis asal Sukabumi itu. Matanya memang terlihat sayu dan tubuhnya agak kurus, mungkin karena terlalu banyak mengeluarkan cairan. Namun, aku masih melihat kecantikan alami yang terpancar dari dirinya. Kecantikan yang bukan basa-basi karena polesan kosmetik.

Kupandangi wajah itu. Ada kegugupan tergambar dari raut mukanya.

“Lagi ngobrol apaan nih?”

“Eh, Ka. Ini...Laela pingin ada teman ngobrol katanya.” Adikku yang menjawab.

“ooooh.”

Kulihat rona memerah di wajahnya.

“Iya, A. Laela ga ada teman ngobrol. Bapak sedang ngurus obat di apotek sedangkan ibu nanti sore baru datang.”

Aku sebenarnya tidak terlalu pandai ngobrol dengan perempuan. Apalagi perempuan di hadapanku adalah orang asing yang baru kukenal pada saat itu. Hanya karena kehadiran adikkulah aku bisa bersikap tidak terlalu kaku. Sesudah bersalaman, beberapa pertanyaan dan jawaban mengalir sekira dua sampai tiga menit. Obrolan yang biasa seputar nama, tempat tinggal, dan tentu saja penyakit.

“Saya permisi keluar dulu ya. Silakan deh dilanjutkan obrolannya.”

“Oh iya, Silakan A.”

Hari-hari selanjutnya adalah kebahagiaan. Suasana hati yang mungkin hanya aku yang tahu. Rumah sakit memang tempat yang menjemukan. Apalagi jika harus tinggal di sana. Bagi si sakit sendiri sudah sangat menjenuhkan. Yang menungguinya apalagi. Bagi mereka, lebih cepat meninggalkan tempat ini lebih baik. Apalagi jika kemudian si sakit juga sudah menunjukkan gejala sembuh. Namun bagiku saat itu, semakin lama justru semakin baik karena dengan begitu aku pun akan berlama-lama pula bertemu dengan perempuan cantik di bilik sebelah. Ah...Laela.

***

Sesekali memang aku harus meninggalkan rumah sakit sekadar melepaskan lelah dan kepenatan karena harus terus-terusan melayani mamaku. Tempat yang kutuju memang rumah mama di Rawamerta. Untuk sampai ke tempat itu aku harus naik angkot yang berangkat jika penumpangnya sudah penuh. Kali ini aku lebih memperhatikan tempat-tempat yang dilalui. Berbekal penjelasan dan gambaran mengenai tempat tinggalnya, kusempatkan menengok lewat jendela angkot ketika kendaraan ini mulai memasuki wilayah Lamaran. Ah ya. Di sinilah sang penari itu tinggal. Kuperhatikan dengan saksama pemandangan yang menjelma frame film itu. Berkelebatan cepat dan terkadang lambat tergantung kecepatan sopir mengemudikan angkotnya. Sesekali mataku tertuju agak lama kepada beberapa papan nama di pinggir jalan.

Semua papan nama tersebut memiliki kesamaan. Bukan pada ukiran nama yang begitu mencolok dengan latar putihnya, melainkan pada urutan kata yang terpampang di sana. “Grup Jaipongan”. Ya, jika dihitung mungkin ada sekitar lima atau lebih papan nama yang mengusung frasa itu. Hmm. aku tidak begitu memperhatikan lagi tempat-tempat yang dilalui angkot ini. Lamaran sudah berlalu. Yang terbayang dalam anganku adalah Dawuan, Dukuh Paruk, Rasus, dan....Srintil. Aku seolah berhadapan dengan gambaran imajinasi Ahmad Tohari tentang Srintil dan kehidupan di dukuhnya. Aku tersadar ketika kusadari bahwa imajinasi pengarang ini ada di Jawa sana. Sementara tempat ini jauh di Utara. Namun, imajinasiku berlanjut ketika angkot melewati pematang sawah yang menjelma jalan aspal menembus hamparan sawah yang seolah tak bertepi. Di depan sana ada rimbun pepohonan yang menandakan ada perkampungan. Aku jadi teringat kembali Dukuh Paruk.

Tinggal melewati tiga perkampungan lagi maka aku akan sampai ke tempat yang kutuju. Sebuah kota kecamatan yang dikelilingi rimbun pohon dan pesawahan. Tempat inilah yang setiap setahun sekali kukunjungi sekadar melepas rindu dan kewajiban seorang muslim untuk bersilaturahmi di saat lebaran.

Ada suasana khas yang kutemui jika aku berlebaran di sini. Suasana yang tak kutemui ketika di Bandung. Suasana khas pedesaan dan kesederhanaan yang terpancar dari rumah-rumah penduduk dan rimbun pepohonan di pekarangan.

Saat yang paling kusukai adalah ketika kami, para lelaki muda dan perempuan muda ngabungbang. Ngobrol ngaler-ngidul tentang segala hal, terkadang menyerempet ke wilayah pribadi seseorang, termasuk soal percintaan. Kami adalah keluarga besar maka rahasia terkadang malah menjadi milik bersama. Berita sekecil apapun bahkan menyebar lebih cepat dari api yang membakar rerumputan.

Di malam yang lain, kami, para penerus keturunan keluarga H. Makbul khusuk mendengarkan dongeng yang diceritakan oleh tetua kami. Tetua yang aku sebut Uwa karena memang beliau adalah kakak tertua Mama yang masih hidup. Dongeng yang lebih mirip hikayat tersebut pada awalnya memang tidak begitu menarik perhatian dan terkadang malah membuat kami terkantuk-kantuk.

Yang membuat kami betah ketika Uwa Emuh mendongeng adalah karena di hadapan kami terhampar begitu banyak penganan dan tentu saja kopi hitam. Penganan lebaran yang khas kampung menjadi favorit bagi perutku karena memang jarang ditemukan di kota. Adapun kopi telah menjadi teman yang setia menjadi pengusir kantuk yang mujarab meskipun tidak selalu demikian. Obrolan dan dongeng yang menariklah yang membuat mata kami masih terbuka hingga ujung malam.

Jika ada Mama, sesekali apa yang didongengkan oleh Uwa Emuh bisa menjelma menjadi perdebatan. Maka Uwa Emuh, Mama, Mang Ombay, Wa Ahmad, bahkan Mang Hasan saling beradu argumen. Yang sering menjadi pangkal perdebatan adalah jika Uwa Emuh sudah menyerempet ke wilayah agama. Jika sudah mulai menyimpang, Mama lah yang menjadi juru penengahnya. Pengalamannya menjadi santri selama sekian tahun dan mengelola Masjid di Padasuka menjadi catatan tersendiri di tengah-tengah keluarga besar kami. Terlebih Mama adalah satu-satunya keturunan H. Makbul yang hidup di kota, jadi pegawai pemerintah pula. Maka, martabat dan derajatnya sedikit lebih tinggi dari saudara-saudaranya yang lain, tak terkecuali dari kakaknya sendiri, Uwa Emuh. Di masa sehatnya, Mama adalah tempat mengadu dan mengeluh bagi saudara-saudaranya yang lain, bahkan terkadang tempat meminta bantuan jika mereka sudah terdesak kebutuhan. Demikianlah.

***

Aku sudah lama beristirahat di rumah ini. Semalaman. Pagi ini aku harus kembali ke rumah sakit daerah itu. Kembali mengurusi Mama yang belum sembuh dari komplikasinya. Saat aku sedang merapikan perbekalan di ruang tamu untuk dibawa ke rumah sakit, Aab, anak pamanku menghampiri sambil menyungging senyum.

“Ke rumah sakit lagi, Ka?”

“Iya.”

“Bagaimana kabar Mama?”

“Yah, kayaknya harus menunggu beberapa hari lagi. Belum sembuh benar dari muntabernya.” S

“Sabar saja, Ka. Mudah-mudahan cepat sembuh.”

“Oh ya..Bagaimana kabar tetangga kita?”

“Maksud Aab?”

“Lah...itu lho...penari jaipongan.” Ada nada canda dalam suaranya.

“Oooh...Laela maksudnya?” “Baik..Baik. Sepertinya dia akan cepat pulang.”

“Sayang dong...”

“Padahal cocok jadi pendamping.”

Aku hanya bisa tertawa mendengar candaan saudaraku ini. Pendamping. Hmmm. Pendamping hidup? Belum terpikirkan olehku yang masih meniti jalan hidup ini. Menjadi sarjana adalah fokus utamaku saat ini. Tinggal menyelesaikan skripsi maka bereslah urusanku. Mencari pendamping? Tidak semudah itu bagiku. Yang terbayang justru bagaimana mencari kerja, membangun rumah, baru kemudian mencari pendamping hidup. Idealis memang, tetapi tidak apa-apa toh bermimpi. Bukankah bermimpi adalah sumber kekuatan untuk mewujudkan keberhasilan?

Akan tetapi, hati kecilku malah memberi peluang untuk jawaban lain.

“Jadi pacar, bolehlah.” Sahutku dengan nada bercanda.

“Ha..ha..ha.. Biar aku yang jadi Mak Comblangnya.”

Ah dasar saudaraku ini. Tapi memang bisa dipahami jika dia mau jadi Mak Comblang. Tempat tinggal Aab terhitung dekat dengan Laela. Namanya juga kampung tetangga. Segala sesuatu tentang Laela dan kehidupannya tentu sudah diketahuinya pula. Ah..biarlah alam memainkan kuasanya.

“Sudah ah. Aku pamit dulu, keburu siang.”

“Ya deh. Salam buat Mama dan Laela ya!”

Seraya mengiyakan aku segera beranjak menuju tempat pemberhentian angkot. Tujuanku satu, RSD Adiarsa.

***

Seminggu di rumah sakit serasa satu hari bagi diriku. Waktu begitu cepat berlalu. Ada sesuatu yang nampak akan hilang dari jiwaku.

Ya..Laela hari ini akan pulang. Termasuk juga aku. Jika Laela sudah benar-benar sembuh dari Muntabernya, lain halnya dengan Mama. Ia bersikeras ingin pulang meskipun dokter tidak mengizinkan. Aku bisa memahami keinginan Mama. Seminggu di rumah sakit adalah siksaan nyata baginya yang biasa aktif mengerjakan berbagai hal jika berada di rumah. Rengekannya terkadang malah melebihi anak kecil. Aku pun menjadi iba karenanya. Setelah berunding dengan kakak perempuanku, akhirnya kami pun memutuskan untuk berobat jalan saja. Maka inilah hari perpisahan itu. Dengan Laela tentunya.

Kusempatkan untuk melihat bilik di sebelahku. Di sana sudah ada orang tua Laela. Kusapa mereka dengan bahasa yang paling halus. Selanjutnya Laela memperkenalkan diriku kepada kedua orang tuanya. Sesekali matanya mengerling nakal seolah keakraban telah menjadi milik kami berdua. Gelagat itu bisa jadi luput dari pengamatan orang tuanya. Tapi tak apalah, biarlah itu menjadi rahasia kami berdua, kami yang masih muda.

Sesaat kemudian orang tua Laela pamit untuk menyelesaikan administrasi rumah sakit. Aku dibiarkan berdua dengannya. Tentu ini hal yang paling kuinginkan.

“A, setelah ini mau kan mengunjungi rumah Laela?”

“Insya Allah.”

“Yaa...kok Insya Allah...yang pasti dong.”

“Lho...kalau Allah tidak mengizinkan gimana?” Selorohku.

Ada sedikit raut kekecewaan terhampar di hadapanku.

“Kapan pulang ke Bandung?”

“Mungkin sekitar semingguan lagi deh.” Jawabku. “Saya masih harus tinggal dulu di Rawamerta. Menunggui Mama.”

“Hmmm. Boleh ‘kan jika Laela mengirim surat?”

Aku pun mengangguk. Kami pun kemudian saling bertukar alamat surat. Aku tidak tahu perasaan apa yang berkecamuk pada saat itu. Seolah ada tembok tebal yang menghalangi, namun entah apa.

Seminggu memang bukan waktu yang cukup untuk menjalin ikatan batin antarmanusia yang mulai menumbuhkan benih-benih pengharapan. Meskipun demikian satu minggu sudah cukup untuk mematrikan peristiwa dalam lubuk hati paling kanan. Peristiwa yang tentu sangat berkesan bagi orang-orang yang memuja dewi kasmaran.

***

Pukul sembilan malam saat kuselesaikan tulisanku. Dua peristiwa berkelindan di mataku. Yang satu adalah Srintil, Rasus, dan Dukuh Paruk, serta yang satu lagi adalah Laela, penari jaipong itu dan...aku.

Penghayatanku tentang ronggeng tentu tak sebaik penulis terkemuka itu. Namun setidaknya dari pengalamanku sendiri aku dapat merasakan sesuatu. Sesuatu yang dialami Rasus di masa-masa pengembaraannya. Sebuah rindu yang tak mampu terucapkan namun kurasakan menjalar demikian syahdu di aorta ingatanku.

Ada sebuah surat warna merah jambu di sampingku. Ia telah setia bertahun-tahun menempati ruang pribadiku. Ada lagu yang menyayat hati: kamu harus cepat pulang... dilanjutkan dengan maafkanlah aku acuhkan dirimu... mengalun dari laptopku. Ah..sebuah melankolia malam hari.

Malam merambat pelan. Ingatanku memudar. Yang terbayang kini adalah rumah kontrakan, dua orang jagoan, seorang perempuan, dan lambaian.

Depok, 28 Oktober 2009

Biodata:

Moh. Syarif Hidayat (Sarip Hidayat) lahir di Panjalu, Ciamis, 28 Juli 1976. Alumni Jurdiksatrasia UPI Bandung dan kini tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana Program Studi Susastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Ia pun tercatat sebagai tenaga peneliti di Balai Bahasa Bandung. Beberapa karyanya berupa puisi, resensi, dan esai sastra pernah menghiasi berbagai rubrik budaya di Republika, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Galamedia, Bandung Pos, dan media lainnya. Puisinya tercatat pula dalam antologi puisi Graffiti Gratitude (YMS, 2001) dan Ketika Matahari....(ASAS, 1998).

Alamat pos-el: mohsyarifhidayat@ymail.com


No comments:

Post a Comment